
Jakarta –
Saya banyak di-bully di media lazim gegara mengkritik praktik naturalisasi pemain sepak bola kalian. Itu serempak bukan kendala untuk aku. Pro-kontra dan bully-membully di zaman medsos ini sanggup terjadi terhadap siapa pun. Tapi sejujurnya saya terkejut bukan main mendapati orang-orang begitu jengkel bahkan murka dengan kritik itu.
Sebegitu besarnya keinginan orang Indonesia menghendaki kesebelasan Indonesia berkiprah di pertunjukan internasional sampai-sampai tidak rela ada orang yang mengkritisi usaha-usaha yg diyakini bakal mendongkrak prestasi tim nasional itu. Saya bisa mengerti, alasannya sepak bola sekarang sudah menjadi sebentuk peradaban universal yg prestisius.
Apa pun mesti ditangani biar tim kesebelasan negerinya berjaya di mancanegara, kalau perlu dengan merekrut para pemain internasional yang masih milik darah Indonesia buat dinaturalisasi biar mampu memperkuat tim kesebelasan nasionalnya. Dan kami tahu semua hasilnya saat ini. Ketua PSSI Erick Thohir mempergunakan regulasi FIFA untuk mengerjakan proses naturalisasi pemain. Melalui akses medsos aku menyatakan tidak oke cara-cara menyerupai ini, cara-cara instan dalam menjangkau suatu kejayaan tidak dapat saya terima.
Saya masih berkeyakinan; bukankah lebih baik mendidik bawah umur berbakat dari pelosok negeri yang disediakan sedemikian rupa sehingga kelak tampil menjadi pemain hebat? Aaah… itu terlalu ideal.
Sampai akhirnya, pada suatu sore saya mengobrol hangat dengan seorang sobat lama, Nirwan Bakrie dan berdialog dengan Menpora R.I. Dito Ariotedjo.
Kita seluruh tahu, Nirwan tergolong sedikit tokoh yang sudah berpuluh-puluh tahun mencurahkan waktu, energi dan dana yg dimilikinya guna membangun sepakbola Indonesia. Posisi terakhirnya di dunia sepakbola yakni Wakil Ketua Generik PSSI (2003-2011).
Menurutnya, saat ini naturalisasi yakni cara paling logis dalam mendongkrak prestasi persepakbolaan Indonesia. Ia tidak menafikan idealisme yg aku kemukakan. Tapi realitas yg ditemuinya tidak semanis yang aku bayangkan. Kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini menyusahkan kita untuk mendapat pemain-pemain andal dari dalam negeri secara berkesinambungan. Demikian tegasnya.
Tanpa diminta Nirwan menyodorkan penyebabnya. Pertama, pemerintah memang menganggarkan sejumlah dana, konon triliun per tahun, buat pembinaan olah raga. Tapi percayalah dana itu tak masuk ke PSSI, tapi banyak dipakai Kementerian Pemuda dan Olahraga khususnya pembinaan pemuda/politik menyerupai KNPI.
PSSI selaku organisasi non-pemerintah sudah usang membiayai sendiri aktivitasnya, tanpa terkecuali dalam pembinaan bakat sepak bola baru.
Harus diakui, politik anggaran, sejak jaman Orde Baru, terlebih selama 10 tahun terakhir, tidak mengutamakan cabang olahraga apapun, di mana budget besar lebih banyak dikeluarkan buat insiden internasional yg memiliki pengaruh ekonomi tinggi dan bersifat multievent.
Pembibitan atlet tidak cukup cuma ditangani Kemenpora, alasannya dasar-dasar pembentukan atlet mesti dimulai oleh institusi pendidikan, yang selama periode 2019-2024 boleh dibilang nihil, sementara kebijakan pemerintah cuma pada olah raga yg memiliki potensi prestasi internasional dalam jangka pendek. Lebih banyak pencitraan jangka pendek dan bukan pembinaan jangka panjang.
Perhatian pemerintah cuma masih sebatas pada cabang olahraga yang telah memiliki tata cara pembinaan yg baik, itu pun gres dalam bentuk kegiatan training nasional (Pelatnas) jangka panjang. Sedangkan cabang olahraga yang mau menggelar single event, menyerupai persaingan atau pertarungan sepakbola, pembiayaan antisipasi dan penyelenggaraannya dipercayakan terhadap kesanggupan ketua yang sanggup mengumpulkan dana atau induk dari cabang olahraga tersebut. Politik budget menyerupai ini telah saatnya diubah.
Cabang olah Raga sepak bola sungguh memegang prinsip independensi sesuai statuta FIFA nya, tetapi tidak menetralisir keperluan akan partisipasi dan donasi pemerintah dari segi pembiayaan pengembangan sepak bola itu sendiri, terlebih sepakbola ialah olah rakyat yang murah dan mudah dilaksanakan.
Kedua, Meski bermain bola memang gampang dan murah, bermodal bola sepak dan kaki yg sehat setiap orang dapat memainkan sepakbola. Tapi untuk bisa meraih taraf profesional, diinginkan lapangan bola dan fasilitas training yang memadai. Itu butuh komitmen serius dari Pemerintah pusat, Propinsi, kabupaten, kecamatan bahkan hingga level kelurhan bagi membangun lapangan bola dan fasilitas pelatihan.
Jangan setiap adanya lapangan kosong pribadi diberikan terhadap pengembang Properti atau mall. Setiap pengembang real estat mesti juga merencanakan fasilitas olah raga bagi penghuninya. Tanpa semua itu, seorang anak paling berbakat sekalipun dengan gampang tersingkir dari jalur prestasinya.
Ketiga, kami sering menyaksikan para pemimpin negeri ini hadir di stadion menonton pribadi pertarungan tim nasional. Itu bagus, namun kami memerlukan kemunculan pemerintah lebih dari itu.
Pemerintah mesti hadir di ruang-ruang stadion di segala Indonesia, menentukan persaingan terselenggara dengan tanpa gangguan dan aman, kemakmuran para pelaku sepakbola juga terjamin. Sebab jikalau tak, kami seluruh tahu “para penguasa dunia gelap” mulai berada di sana menertibkan dan mengendalikan pertandingan. Jika telah demikian, para pemain muda berbakat akan layu sebelum berkembang.
Bersyukur ada orang-orang Indonesia, baik alasannya komitmen nikah atau kewajiban tinggal dan sedang pekerjaan di negara-negara yang peradaban sepakbolanya telah maju, yg anak atau cucu mereka mendapatkan pembinaan dalam peradaban itu. Ada yg sukses tampil menjadi pemain bintang di klub-klub profesional. Makara apa salahnya, jikalau bawah umur dan cucu itu mau diajak kembali ke kampung halaman nenek moyangnya dan menjadi kepingan dari tim nasional. Mereka tak hanya sesuatu atau dua pemain, jumlahnya bisa mengisi nyaris segala lini kesebelasan.
Dari klarifikasi itu, saya mampu memahami bahwa naturalisasi yakni cara paling logis buat mendongkrak prestasi timnas sekaligus bukti bahwa pemerintah tak acuh terhadap sepak bola kami.
Surat Menpora untuk Peter F Gontha
Yang Terhormat Pak Peter F. Gontha,
Terima kasih atas goresan pena Bapak terkait sepak bola. Kami sungguh menghargai perhatian dan pengabdian Bapak terhadap info ini, serta ajaran kritis yg Bapak sampaikan. Izinkan kita buat menyodorkan dua balasan selaku materi diskusi lebih lanjut.
Pertama, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap pembinaan olahraga, tergolong sepak bola, sebagaimana tercermin dalam alokasi budget dan kebijakan strategis. Pembinaan atlet muda juga menjadi konsentrasi dalam beberapa Permenpora maupun Instruksi Presiden sebelumnya. Kebijakan naturalisasi bukanlah pengganti pembinaan, melainkan salah sesuatu taktik komplementer yang dipakai bagi mengembangkan daya saing tim nasional dalam jangka pendek. Penting untuk ditegaskan bahwa pemerintah tak menganggarkan dana khusus bagi proses naturalisasi-di Kemenpora, misalnya, cuma ada alokasi bagi riset potensi alet diaspora. Naturalisasi dikembalikan terhadap cabor untuk memulainya.
Kedua, terkait klaim bahwa budget “tersesat,” kalian perlu meluruskan bahwa dana pembinaan olahraga dialokasikan pribadi terhadap cabang olahraga terkait, tergolong sepak bola, dengan prosedur yg transparan dan akuntabel. Tentu, prosedur ini masih sanggup selalu disempurnakan biar penggunaannya makin tepat sasaran, tapi tak benar jikalau dibilang bahwa dana tersebut tersesat.
Ketiga, kalian sepakat dengan Bapak bahwa pembinaan ialah penyelesaian penting bagi membangun masa depan sepak bola yg berkelanjutan. Sebagaimana menanam pohon, hasil dari pembinaan ini tak dapat instan, melainkan memerlukan waktu dan kesabaran. Oleh alasannya itu, penting bagi kita seluruh bagi bersinergi dan mengambil kepingan dalam proses pembinaan, akan dari level akar rumput hingga profesional.
Kami sungguh menghargai persepsi dan masukan Bapak, serta berharap sanggup terus berdiskusi buat serempak mencari penyelesaian terbaik bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Terima kasih atas perhatian Bapak dalam info ini.
Peter Gontha. Mantan Dubes RI buat Polandia.
Lihat Video: Erick Thohir Respons Usulan Timnas Diisi 60% Pemain Lokal
peter gonthanaturalisasinaturalisasi pemainpssikolom